Rasa
ketidaksiapan diri dalam menerima kenyataan sering menjadi momok dalam diri
kita. Aku sebagai orang yang berusaha memahami hidup mungkin akan menamainya
dengan dendam.
Aturan
yang tak sejalan dengan keinginan namun dituntut untuk menerima.
Sesekali
mungkin sulit, selanjutnya akan terbiasa bahkan tak akan memperdulikan keadaan.
Terbiasa?
Mungkin terbiasa menghindar maksudnya.
Mempertahankan
diri dalam zona aman yang sering disebut dengan ketidakpedulian.
Beberapa
tahun ini aku menjalaninya rasa itu sebagai benalu yang selalu mengerogotiku
tanpa aku sadari.
Menyakitkan,
tentu saja akau terlihat menyedihkan bahkan mungkin sebagai akan merasakan
kekecewaan.
Iyaaa
akibat dariku
Teringat
jelas saat aku bermula seperti ini tepatnya tahun 2010.
Sosok
yang kubanggakan, sosok yang sangat aku sayangi di uji oleh Allah dengan sebuah
penyakit.
Saat itu
aku mulai kehilangan, walaupun sebenarnya hingga saat ini selalu menemani.
Efek
samping dari penyakitnya adalah ketidakstabilan emosinya.
Mulai
saat itu orang yang aku sayangi ini mengaanggap apa yan disekitarnya sebagai
sebuah kemarahan.
Aku yang
tak siap menerima kenyataan itupun berusaha ingin merubahnya.
Walaupun
pada dasarnya itu adalah ketidakmungkinan.
Penyumbatan
di otak yang berpengaruh pada syaraf emosinya.
Hingga
pada hari bahagiakupun aku tak dapat melihatnya hadir dengan alasan tak mampu
melihatku menggunakan toga